Karya: Redafah Putri Wulandari
Suara gendang terdengar samar, disusul bunyian seruling yang membisingkan. Terdengar jauh dari sini tapi sedikit mengganggu diriku yang tengah sibuk menonton Live streaming musik yang lagi hitz di YouTube. Mulut tidak tahan, akhirnya mengadu pada ibuku yang berada di luar rumah. Kejengkelanku makin bertambah ketika ibu menyuruhku untuk pergi ke pertunjukan itu dengannya. Rupanya, diluar ibu sedang menunggu mbak yam, tetangga sebelah rumah yang sudah janjian untuk berangkat bareng kesana.
Aku tidak menghiraukan ajakan ibu, volume hp kubesarkan dengan mata fokus tertuju ke layar hp. Dua menit setelahnya, kudengar suara mbak yam memanggil ibu dengan suara lantangnya. Lalu hentakan kaki ibu menghampiri suara lantang tersebut dengan menyahutinya. Sepertinya mereka tidak hanya pergi berdua, sesekali kudengar suara anak kecil yang histeris, pun merengek. Gesekan sandal terdengar jelas, kemudian perlahan suara itu lenyap.
Perut bergetar, ingat dari pagi belum makan apa – apa hanya dua buah pisang dan air putih. Kuputuskan untuk pergi ke dapur sebentar sekedar memberi makan perut yang dari tadi kubiarkan menganga. Tudung saji sudah ada di depan mata, kubuka ada dua ikan sedang membujur di sana yang tak kuketahui namanya. Di sebelahnya ada sambal terasi terpampang di atas cobek, baunya langsung menyerbak dalam hidung. Tampaknya hidangan ini masih hangat, pasti sebelum pergi ibu sudah menyiapkannya untukku.
Tiba – tiba suara keras dobrakkan dari luar menghantamku untuk keluar, Aku penasaran sekali bersumber dari mana dobrakkan tersebut. Padahal tidak ada siapa pun orang di sini kecuali diriku. Kuberanikan mata untuk mengintip keluar dari balik gorden. Hampir sok, jantungku berdebar kencang. Dugaanku benar, ada seseorang di luar. Wajah kami beradu kening namun tak menyentuh karena ada kaca yang menghalangi.
“Kikikikik” Dia meringis saat pintu berhasil kubuka, wajahku masam menatapnya.
“Dua hari liburan kenapa enggak kasih tahu Lan? Ibumu tadi yang memberitahu, kalo tidak Aku mungkin tidak akan tahu” Sambungnya sambil melewatiku lalu mendudukkan panggulnya diatas kursi.
“WhatsApp sudah dibuka belum?” Sambungku sambil mendekatinya.
Kemudian dia mencoba menekuni HP-nya dengan saksama yang digenggam tadi.
“Mana ada Lan, jangan bohong! Terakhir kita chattingan bulan lalu.” Tatapan wajahnya tampak serius.
“Masak sih Put?! Bentar – bentar aku cek.”
Ternyata pesan yang mau kukirimkan ke Putri, teman karib sejak kecilku ini belum terkirim. Masih menggantung di chat, belum sempat aku tekan gambar pesawat di sampingnya untuk bisa terkirim ke Putri.
“Maaf yah Put, Aku sendiri enggak tahu…..” jelasku padanya dan memohon maaf.
Kami sudah lama berpisah berawal dia merantau ke Mojokerto untuk mondok, sedangkan Aku tetap tinggal di desa. Tidak banyak yang berubah dari Putri, kulit kuning langsatnya masih terpancar dan gelak tawa sampai perutnya keram tidak pernah lupa ia lakukan.
Di tengah obrolan kami yang memakan banyak derai tawa, tiba – tiba ada nomor tak dikenal menghubungiku. Kornea mataku terpaku ke layar saat itu, dan Putri menyuruhku untuk angkat telepon itu segera. Entah, jemari tanganku rasanya berat menekan tombol hijau dilayar hp. Karena terlalu lama kubiarkan, panggilan itu pun gugur. Dua menit kemudian, ada panggilan yang masuk dari nomor yang tak kusimpan lagi. Kali ini, Putri memperingatkan kalo ini penting, tapi aku diamkan. Tak berlangsung lama, panggilan itu mati dengan sendirinya.
Diriku pribadi tidak bisa lapang mendapati telepon dari nomor yang tidak kukenali. Berat bagiku memulai percakapan, rasa khawatir tidak berhenti menghantui. Secara Aku pernah tertipu setelah mendapat panggilan seperti ini. Uang 1 juta bablas tanpa kabar karena kecerobohanku. Bapak marah besar, karena itu satu – satu tabungan yang hendak buat tambahan untuk bayar sekolah. Bapak harus pusing memikirkan ganti membayar sekolah dengan apa. Meski kutahu seperti itu, mereka masih bekerja keras.
“Wulan kamu enggak papa kan?” Spontan Putri seperti cemas melihat Aku yang kebingungan ini.
“Apa kamu masih trauma?” Dia melanjutkan pertanyaannya.
“Iya Put” Suaraku lirih.
“Hei, kamu sudah besar. Sekolah yah tinggal beberapa bulan lagi bukan? Biarkan yang lalu jadi pelajaran. Tidak semuanya panggilan tidak dikenal masuk ke hpmu itu penipu Wulan ! Sekarang kamu pasti lebih tahu dibanding dulu, dan enggak mungkin pula kamu mengirimkan uang lagi secara percuma.” Tuturnya dengan hasrat penuh perhatian.
Suara pukulan gendang kini kembali terdengar. Putri membujukku untuk ke sana, katanya malam ini terakhir acara Terminal Budaya di kampung sini. Ada lagi tahun depan, yang dasarnya memang diadakan satu tahun sekali. Tidak tahu kenapa tidak ada hasrat untuk menontonnya sedikit pun, di pikiranku sudah tertanam jika hanya orang kuno yang senang menontonnya.
Karena Putri terus memaksa akhirnya Aku menuruti keinginannya, dua hari di rumah juga Aku terus dikamar tidak pernah ke mana – mana. Mungkin ini momen yang tepat untuk memanjakan diri, menghirup udara segar diluar.
Bunyian gamelan sangat jelas terdengar olehku, sorakan orang-orang juga tidak mau kalah meramaikan acara ini. Pertama kalinya Aku kemari dan berhasil dibuat kagum dengan hiasan lampu uplik yang terkesan memesona. Lampu yang sekarang langkah kutemui, sekarang hadir berentetan di pintu masuk. Di sampingnya ada papan bertuliskan “TERMINAL BUDAYA KE – V” yang diukir. Di sini penjual kaki lima banyak berjejeran di tepi jalan. Tidak pernah kulihat pasar malam di desa ramai, tetapi Terminal Budaya yang kuno kataku, luar biasa penontonnya. Dari kalangan anak sampai lansia hadir menikmati acara dengan semangat.
Tiba – tiba penglihatanku buram, kulihat orang – orang bergerumbul di depanku. Sorakan ramai perlahan menjauh dari pendengaranku. Kemudian, hanya ada kegelapan tanpa sinar. Bau minyak kayu putih mengaup – ngaup di pernafasanku, seolah memberi ketenangan. Ternyata magku kambuh sampai Aku ambruk karena tadi tak sempat makan. Seseorang lelaki menyodorkanku segelas air putih dengan menyebut namaku, ketika Aku berusaha menyandarkan diri.
“Kak Nazri, kok ada di sini?” dengan mataku paksa mengamatinya yang mengenakan kostum seperti pakaian raja. Kak Nazri adalah teman akrabku disalah satu organisasi di kecamatan, perkenalan kami pun cukup akrab.
Dia menjelaskan bahwa dia menjadi aktor dari sebuah drama yang berjudul pangeran dan buaya putih. Jujur aku terkesiap saat mengetahuinya, apalagi dia bilang kalo dia sudah lama bergabung dalam komunitas teater.
“Tadi Aku sempat menelefonmu Lan, dari hp salah satu temanku. Karena jaringan kartuku di sini buruk.” Aku mendadak ingat, jika tadi ada nomor tidak dikenal menghubungiku.
Aku tidak menyangka seorang pemuda dari desa tetangga bisa terjun ke dunia seni dan ikut main teater. Kukira hanya musik modern dan gemar mengikuti trend luar negeri yang sepintas di pikirannya. Anggapanku salah besar ternyata. Dia bercerita jika sejak kecil kakeknya sering mengajaknya ketontonan seperti ini dan siapa sangka dia juga bertekad untuk mendalami ilmu persenian walau jurusan kuliahnya farmasi. Yang tidak ada hubungannya dengan sastra sama sekali.
Kak Nazri telah membukakan pemikiranku jika pemuda juga harus ikut menikmati dan melestarikan budaya, budaya tidak selamanya buruk dan kuno. Pengenalan itu perlu dipaksa, mungkin Aku tidak tahu betapa asyiknya menonton drama seperti ini jika Putri tidak memaksaku tadi.
“Tahun depan Terminal Budaya tidak kulewatkan lagi” batinku
“Wulan… sudah sembuh.” Teriak Putri dengan menghampiriku, lalu diikuti ibu dari belakang dengan mimik wajah penuh kecemasan.
SELESAI