Info Sekolah
Jumat, 01 Des 2023
  • Modern Religius Kompetitif | Sekolah Model Berkarakter Penuh Prestasi

Cerpen: Penikmat Ketampanan

Diterbitkan :

Karya : Nazilatus Sholikhah

Seperti namanya, Arbie Mahatma. Ia sangat tampan, aku kagum denganya. Entah itu wajah, postur tubuh yang gagah, tutur kata dan cara dia tersenyum dengan kumis tipisnya. Mungkin bisa kalian katakan aneh jika aku kagum dengan kumis tipis yang bisa melelehkan perasaanku.

“Kupikir kamu seperti remaja pada umumnya.” Ucapnya, sembari menuangkan teh hangat di dalam teko ke cangkir putih. Mulutnya mulai menyeruput dengan nikmat.

Aku mendongak ke arahnya, mengagumi cara dia menikmati teh. Mengamati jari lentiknya mengangkat cangkir putih yang tak kalah menawan. Aku menyalurkan sebuah pertanyaan, “Ada apa denganku kak? Mengapa kau bandingkan dengan remaja lain?”

Dia memasang senyum manisnya, meletakkan secangkir teh hangatnya di atas meja. Menatap mataku, dia memulai melakukan interaksi mata. Aku tidak berani melakukan interaksi mata dengan lelaki ataupun pria manapun. Mataku langsung mengalihkan pandangan, jiwaku gemeteran, tidak berani berinteraksi mata langsung. Matanya yang seperti elang, tajam tapi lembut jika ku katakan. Garis wajahnya yang tegas itu membuatku lebih takut melakukan interaksi mata.

“Sekarang aku tahu kalau kamu tidak seperti semua remaja yang sering mendekat. Kukira kamu berani melakukan interaksi mata, ternyata kamu lebih memilih melihat kaki meja yang mulai keropos itu,” ucapnya. “Aku tidak sedang memakimu, jangan di ambil hati ya,” lanjutnya sambil mengambil kembali teh hangatnya yang mulai mendingin.

Mataku masih setia menatap kaki meja, terdiam. Dia sudah sibuk dengan beberapa seruputan nikmat secangkir teh. Tangan kanannya menuangkan teh yang ada di dalam teko ke cangkir lain yang sudah lama menganggur. “Ambil ini, biar kamu bisa menemaniku menyeduh teh hangat.” Ucapnya dengan menyodorkan secangkir teh yang telah dituang untukku.

Kami duduk berhadapan, di salah satu cafe kota Batu. Hari ini dia terlihat begitu sangat tampan, yang biasanya hanya ku lihat hendak ke kampus memakai kemeja rapi seperti pria dewasa, kali ini dia memakai kaos hitam polos ditambah dengan kaca mata yang menambah aura positif di wajahnya. Itu membuat siapapun akan terkagum dengan ketampanan kak Arbie. Rambutnya terlihat sangat hitam klimis seperti habis memakai pomade. Wangi parfumnya bacarat, seperti teman sekelasku di sekolah. Tapi untuk kak Arbie, bacarat yang sangat semerbak.

Hari ini kau mengajakku merasakan sebuah kenikmatan

Secangkir teh dan cerita suka duka kehidupan

Di temani dengan dinginya angin kota Batu

Kita bagai kawan yang lama tak bertemu

 

Seringkali ku curi pandang wajah tampan mu

Kau berucap, “Tidak ada yang lebih indah selain meminum teh bersamamu.”

Lalu sekilas senyum dari bibirmu menyusul ucapanmu

Memang tidak ada yang lebih indah selain bersamamu.

 

Aku melamun, secarik puisi tentang kak Arbie tiba-tiba muncul di pikiranku. Memandangi wajah eloknya, mata bulat tajamnya, kumis tipis yang melengkapi senyum manisnya. Aku tidak tahu, itu aneh begitu saja terlintas di benakku. Bagaimana caranya agar aku bisa mendapatkan hatinya? Apakah dia akan kaget jika aku mengatakan kalau aku menaruh perasaan padanya? Pasti dia akan mengatakan, jika aku dan dia hanyalah sebatas kakak beradik saja, tidak lebih.

Lalu suara merdu menyusup masuk telingaku. “Tidak ada yang lebih nyaman, walaupun hanya menyeruput teh begini.” Kau berucap begitu, bagai diriku telah terhipnotis. Aku beranjak berdiri, lalu ku raih tanganmu dan kau berkata “Kamu kenapa, Clarin?” Aku linglung, seperti orang tak sadarkan diri. “Maaf kak,” ucapku singkat dan duduk membali menunduk kan kepala.

Kau tertawa, seperti ini adalah lelucon yang kubuat untukmu. “Kamu kenapa?” Ucapmu menahan tawa, aku ikut tertawa malu. “Clarin? Kamu tidak apa-apa kan?” tanya mu lagi, memastikan remaja SMA yang hendak lulus ini tidak sedang gila. Aku hanya menjawab dengan anggukan. Helaan nafas panjang, sepanjang tembok raksasa di Cina terdengar darimu. Aku mendongak, mencuri pandang lagi wajah tampanmu itu. Aku menyukainya, menyukai dari berbagai sudut wajahmu. Seperti lukisan karya ayah yang selalu ku pandang di tembok ruang tamu rumahku.

“Maaf kak, bagaimana cara menjadi rumah?” tanyaku tiba-tiba, kau malah terkekeh dengan pertanyaan absurd ku ini. “Kamu mau jadi rumah? Kamu kan manusia, Clarin.” Kenapa semua orang tidak paham dengan apa yang ku katakan tentang rumah, kenapa mereka seperti mengejek? Lalu sehelai senyum manis muncul di bibirmu, “Aku tahu maksud kamu, kakak hanya bergurau.” Aku menatapmu, kali ini dengan sebuah harapan. Tapi aku berpikir, kalau harapanku ini akan berujung patah. Yah, namanya juga kehidupan.

“Saya pernah berpikir tentang pertanyaan mu tadi, Bagaimana cara menjadi rumah? Bukan rumah yang terbuat dari kayu jati atau batu bata. Tapi rumah yang menyulap seseorang untuk bisa nyaman dengan kita. Coba kamu ingat, apa kamu pernah mendengarkan temanmu bercerita tanpa mengadu nasibmu, atau juga tanpa memotong ceritanya?” Dia memotong dan menyuguhkan senyuman, terlihat menyuruhku untuk menjawab pertanyaan itu. “Pernah, dan bisa dibilang sering karena temanku, Savana, selalu bercerita kepadaku.”

“Dia selalu bercerita kepadamu?” tanyanya lagi, dan kubalas dengan anggukan.

Lalu dia melanjutkan, “Dari situ, kamu sudah bisa dikatakan sebagai rumah untuk Savana. Karena kamu selalu berusaha mendengarkan dia bercerita dan dia sudah menganggapmu sebagai pendengar yang baik. Karena pada hakikatnya, semua orang bisa dengar, tapi tidak semua orang bisa mendengarkan.”

Kalimat yang kak Arbie ucapkan barusan tertanam di pikiranku, “Semua orang bisa dengar, tapi tidak semua orang bisa mendengarkan.” Ucapanya membuatku syahdu, dia membuat siapapun bisa tertawan dengan ucapanya yang bijaksana itu.

Tentang dinginya suasana kota Batu

Dan tentang ucapanmu yang menyejukkan hatiku

Dan pula tentang elok nya wajah simetrismu

Untuk keindahan namamu, Arbie Mahatma.